Beranda | Artikel
Hanya Manusia Biasa
Sabtu, 6 Mei 2017

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Aku ini hanyalah seorang manusia. Aku bisa benar dan bisa juga salah. Perhatikanlah pendapatku. Setiap ada pendapat yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah ambillah. Dan setiap ada pendapat yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah tinggalkanlah.” (lihat Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 283)

Inilah salah satu kaidah berharga yang diwariskan oleh para ulama kita. Komitmen dengan dalil dan tidak fanatik kepada seorang tokoh sehebat apa pun dia kecuali kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab kesetiaan kepada Rasul adalah kewajiban dan ittiba’. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada rasul itu sungguh dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80)

Kita telah bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. Karena beliau adalah hamba maka kita tidak boleh mengangkatnya pada derajat ketuhanan. Karena beliau adalah utusan Allah maka kita tidak boleh mendustakan ajarannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah yang dia -Muhammad- ucapkan dari hawa nafsunya. Tidaklah itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)

Tidak dianggap benar kecintaan kita kepada Allah apabila kita tidak mengikuti jalan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu setiap muslim wajib meniti jalannya dan meninggalkan semua jalan kesesatan dan penyimpangan. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah -Muhammad-; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Banyak perselisihan dan pertikaian terjadi diantara sebab utamanya adalah ketika manusia tidak lagi kembali kepada ajaran dan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seolah mereka lupa bahwa beliau diutus untuk membawa rahmat dan cahaya ilmu kepada manusia. Seolah mereka lupa bahwa tidaklah ada jalan menuju surga kecuali telah beliau jelaskan kepada umatnya, sebagaimana tidak tersisa suatu jalan yang menjerumuskan ke neraka kecuali sudah beliau terangkan kepada kita. Allah berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara, hendaklah kalian kembalikan kepada Allah dan Rasul…” (an-Nisaa’ : 59)

Terkadang kepandaian berkata-kata seorang tokoh atau kecerdasannya membuat sebagian orang begitu terpana dan terpesona. Seolah tidak ada orang lain yang lebih paham agama daripada gurunya itu. Mereka mungkin lupa atau pura-pura lupa bahwa para imam yang empat -yang telah diakui kedalaman ilmu dan kelurusan manhajnya- adalah orang-orang yang paling tidak suka dengan sikap membebek dan fanatik buta. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Ambillah dari mana mereka mengambil…” Beliau juga mengatakan, “Janganlah kalian taklid/hanya ikut-ikutan kepadaku…” Gurunya yaitu Imam Syafi’i rahimahullah juga berkata, “Apabila suatu hadits terbukti sahih maka itulah madzhab/pendapatku.”

Meskipun demikian, sebagaimana sudah menjadi ketetapan dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah, bahwa para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia-manusia pilihan dan generasi terbaik umat ini yang sepatutnya dijadikan teladan dan panutan. Bukan karena ketampanan wajah mereka, atau kekayaan hartanya, atau tingginya jabatan mereka, atau ini dan itu. Akan tetapi karena iman dan takwa yang Allah ketahui bersemayam di dalam hati mereka. Jalan mereka adalah petunjuk dan arahan mereka adalah pelita di tengah kegelapan. Imam al-Auza’i rahimahullah berpesan kepada kita, “Wajib atasmu untuk mengikuti jejak orang-orang terdahulu itu -yaitu para sahabat- meskipun orang-orang lain harus menolakmu…”

Apabila anda masih ragu tentang kemuliaan dan keunggulan para sahabat -yaitu kaum Muhajirin dan Anshar- silahkan renungkan firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu Muhajirin dan Anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Dan Allah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100)

Sehingga menempatkan para sahabat nabi dalam posisi yang istimewa adalah sebuah keniscayaan. Adapun merendahkan dan melecehkan mereka adalah jalannya kaum yang menyimpang dari kebenaran. Imam Abu Zur’ah rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu adalah orang zindik/sesat…”

Dari sinilah kita mengetahui letak kekeliruan yang sangat fatal dari kaum Syi’ah/Rafidhah. Mereka telah menjatuhkan kehormatan dan harga diri para sahabat nabi. Bahkan mereka menganggap bahwa mencaci maki para sahabat adalah ibadah. Mereka pun mengkafirkan sebagian besar para sahabat. Mereka juluki Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma sebagai dua berhala Quraisy. Mereka menuduh para sahabat bersekongkol merampas hak kekhilafahan yang seharusnya diberikan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Mereka menuduh al-Qur’an yang ada di tangan kaum muslimin tidak lengkap. Mereka pun menumpahkan darah kaum muslimin, dan sejarah menjadi saksi kebiadaban mereka hingga hari ini…!! Allahul musta’aan…   

Kecintaan kita kepada Abu Bakar dan Umar adalah bagian dari agama. Kecintaan kita kepada para sahabat adalah bagian penting dalam keimanan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman, hadits no. 17). Apabila mencintai Anshar adalah bukti keimanan -sementara keutamaan mereka berada di bawah keutamaan Muhajirin- maka bagaimanakah lagi dengan kecintaan kepada kaum Muhajirin?!

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para Sahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian ada yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, niscaya hal itu tidak akan bisa menandingi kualitas infak mereka yang hanya satu mud/genggaman dua telapak tangan, bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Putra Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu yang bernama Muhammad bin al-Hanafiyah pernah bertanya kepada ayahnya, “Aku bertanya kepada ayahku: Siapakah orang yang terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa?”. Beliau menjawab, “’Umar.” Dan aku khawatir jika beliau mengatakan bahwa ‘Utsman adalah sesudahnya, maka aku katakan, “Lalu anda?”. Beliau menjawab, “Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa di antara kaum muslimin.” (HR. Bukhari)

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka dan yang menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama, ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat al-‘Aqidah ath-Thahawiyah)

Benar, para ulama adalah manusia, para sahabat nabi juga manusia. Meskipun demikian ulama adalah pewaris para nabi dan para sahabat nabi adalah generasi terdepan pembela agama ini. Wajib bagi kita untuk menghormati para ulama, terlebih-lebih lagi para sahabat nabi.  

— 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/hanya-manusia-biasa/